Suatu ketika ada seseorang tersesat di tengah hutan,
sehingga ia berputar-putar tanpa bisa keluar. Semakin ia berusaha keluar,
semakin dalam ia tersesat. Karena sudah kehabisan tenaga tanpa membuahkan
hasil, maka ia pun terduduk kelelahan, sambil berdoa memohon pertolongan Tuhan.
Tak lama kemudian datanglah seekor kera yang membimbingnya
keluar dari hutan belantara tersebut. Begitu keluar dari hutan, orang tersebut
justru membunuh kera yang menolongnya sebagai menu makan hari itu.
Tersesat adalah kejadian yang sering kita alami. Kita
tersesat di rumah, karena menemukan kenyamanan. Tersesat di kantor, karena
penuh intrik. Di jalan raya, karena kemacetan. Bahkan di tempat ibadahpun kita
juga tersesat dan merasa hampa dan tidak menemukan apa-apa. Bagi seseorang yang
sedang duduk di kursi kekuasaaan, bila tertawa, dianggap kehilangan wibawa.
Cemberut dikira bukan teladan yang baik. Berlaku sabar, malah banyak anak buah
yang makin kurang ajar.
Keadaan ini persis sama dengan cerita orang yang tersesat di
hutan tadi. Dalam keadaan bingung, kita
akan mengambil apa saja untuk menyelamatkan diri. Demikian juga dengan
kehidupan nyata, apalagi kehidupan di panggung politik. Kepalsuan berbaju
kebenaran dan kebenaran banyak dipalsukan. Di dunia korporasi juga berlaku sama,
batas-batas antara cerdas dan culas semakin dikaburkan.
Disisi lain kehidupan, seorang pencari kayu , tanpa keraguan
akan mengambil kayu-kayu kering yang berserakan di hutan. Seorang nelayan
mengembangkan layar perahunya menuju tempat dimana ada ikan. Orang bijaksana
faham benar tentang arti pepatah : “ Raja dari segala pengetahuan adalah
pengetahuan tentang diri sendiri. Tanpa mengetahui siapa diri ini, maka kita
akan tersesat di hutan tua kehidupan ini, bahkan tersesat dalam pencarian di
kitab suci.
Disatu bagian kitab suci, kita diharuskan membawa payung,
sedangkan di bagian lain justru kita dilarang membawa payung. Hanya di tangan
seorang pembimbing (Guru/Ulama) maka pesan di kitab suci itu tidak menyesatkan.
Seseorang yang serius mencari pengetahuan diri ini selalu dekat dengan para guru pembimbingnya.
Kita akan selalu mencermati pesannya dan mengikuti keteladannya.
Suatu ketika seorang anak bertanya pada kakeknya, “Kek,
apakah di balik awan itu ada cahaya?’ kakeknya sambil tersenyum berkata, “tentu
saja cucuku”. “tapi kek, bagaimana cara
membuktikannya?”. Dengan lembut sang kakek berbisik, “sementara yakini dulu
dengan pesan kakek, nanti bila awannya telah pergi, maka kamu akan
mengetahuinya”.
Penggalian spiritualitas hampir serupa, awalnya semua gelap,
namun karena keyakinan dengan guru pembimbingnya membuatnya yakin menghadapi
kehidupan ini. Hingga pada akhirnya ketika awan telah pergi, muncullah cahaya
dibalik awan tersebut dan terbukalah kesadarannya bahwa apa yang selama ini
dicari-cari telah ada di dalam diri kita. Merasa cukup adalah kekayaan sejati
dan hal ini hanya terjadi karena semua kegelapan telah sirna oleh terang cahaya
dari sang guru pembimbing, sehingga kita tidak tersesat di hutan tua kehidupan.
(Gede Prama-Compassion)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar