Daftar Isi

Salam Kenal Kawan.....

Selamat Datang di Blog sederhana ini, saya berharap dapat menambah pertemanan dan wawasan

Sabtu, 29 April 2017

Catatan Kecil Jejak Langkah Negeriku...


Saya memang tidak pernah mengerti dan memahami politik. Kata teman politik itu tentang seni, seni untuk berkuasa dan menguasai. Menguasai massa untuk memuluskan jalan menuju kekuasaan dan seni mempertahankan kekuasaan dengan menguasai massa.
Dari definisi seorang teman tsb, semakin saya tidak pernah mengerti, bagaimana sebuah kata "kuasa" menjadi tujuan dan sekaligus cara untuk menorehkan jejak langkah kehidupan seorang manusia dimuka bumi ini? Sejak kecil semua pelajaran kebaikan (Agama dan Budi Pekerti) selalu menekankan tentang kebersamaaan (bukan berkuasa dan menguasai). Bahkan dalam ilmu biologi pun, sebuah puncak rantai makanan (predator) sekalipun akan sangat tergantung pada level rantai makanan dibawahnya. Misalnya, jika populasi tikus berkurang maka populasi burung pemangsa tikus (elang/burung hantu) juga akan berkurang. Esensi nya adalah sebuah keseimbangan perpindahan energi, dari Matahari hingga level tertinggi rantai makanan tsb. Alam dg bijak mengelola keseimbangan energi tsb.
Kita manusia yang levelnya paling tinggi sebagai makhluk Tuhan di bumi ini, justru bertindak sebaliknya. Semua yang ada harus kita kuasai sendiri (kelompok sendiri), semakin di puncak kekuasaan, semakin kuat hasrat menguasai.  Segala cara digunakan dalam memuluskan rencananya. Bahkan Agama sekalipun akan digunakannya. Nilai-nilai moral dan kebaikan agama yang bersifat universal, diterjemahkan sesuai dg arah dan tujuan kelompoknya. Pemuka dan pemimpin agama diagitasi dg sebuah isu sentimen agama. Ironisnya dengan dalih memperjuangkan akidah umatnya, isu tersebut bak gayung bersambut. Pas seperti pepatah " tumbu ( wadah) menemukan tutupnya". Suara hati nurani yang melihat ketidakbenaran ini dibungkam oleh riuh rendahnya massa yang berteriak kesetanan termakan isu yang dimainkan oleh para politisi.
Sementara di atas sana, para politisi bak seorang sutradara mulai berhitung dan berbagi kekuasaan yang sebentar lagi mereka raih dan sekaligus berencana mencari ladang kekuasaan ditempat lain.
Sungguh semakin tidak kumengerti, bagaimana bisa semua rencana itu berjalan mulus, bagaimana mungkin suara mayoritas pemilik nurani bangsa ini hanya diam dan menyaksikan kejadian ini?
Ya Tuhan, pemilik semua rencana di dunia ini. Apakah memang Engkau sedang uji kami untuk lebih memaknai sebuah kebersamaan, tatkala hasrat menguasai dalam diri kami begitu menggebu. Agar kami lebih banyak belajar saling mengenal sebagai satu saudara di bumi Indonesia tercinta ini? Hanya Engkaulah yang menggenggam jawaban dari pertanyaan ini....

Kamis, 13 April 2017

Musuh...


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) musuh artinya lawan (berkelahi, berperang, bertanding dsb). Sesuai dengan maknanya, maka seorang musuh berarti orang yang berseberangan dengan kita, baik pandangan, sikap, pendapat atau prinsip. Sehingga dimanapun posisi kita ia ada di seberang kita. Bagi sebagian besar kita, menganggap bahwa musuh harus dilawan dengan berbagai cara dengan tujuan akhir untuk  mengalahkannya.

Bagi yang tercerahkan, seorang musuh tak ubahnya seperti kawan, bedanya mereka melihat diri kita dari sudut pandang yang lain. Seorang musuh dapat dengan mudah menunjukkan beberapa kesalahan dan kelemahan kita, karena sudut pandangnya memang berbeda dengan kita. Oleh sebab itu, orang yang tercerahkan akan memanfaatkan musuhnya untuk mengoreksi diri (introspeksi). Karena bagi orang ini, tidak ada kata sempurna dalam dirinya. Ia selalu menyadari bahwa setiap pandangan, sikap dan tindakannya selalu terselip sebuah kekhilafan.

Untuk itu ia membutuhkan lawan sebagai pengingat sekaligus pengoreksi. Sejarahpun mencatat, berkat kehadiran musuh maka sebuah bangsa dapat kembali bersatu mendirikan sebuah negara. Musuh menjadi sebuah perekat bagi kita untuk mengisi celah2 dalam diri kita yang masih renggang. Seorang petinju membutuhkan lawan tanding untuk mengetahui sisi lemah dari pertahanan dirinya. Pendek kata, selama kita masih menjadi manusia, maka musuh menjadi cambuk bagi diri untuk meningkatkan kebaikannya.